"Kemerdekaan berpikir adalah awal dari segala kemerdekaan; tanpa itu, kita hanya terpenjara dalam bayang-bayang kebebasan semu."
Bung Eko Supriatno
Pergantian tahun adalah momen yang sering dibanjiri resolusi penuh janji. Namun, seberapa sering kita memaknainya lebih dari sekadar daftar harapan yang diulang setiap Desember? Tahun baru adalah peringatan tak terucap, bahwa waktu adalah hak prerogatif semesta, dan manusia hanya bisa menatapnya, belajar darinya. Ia mengingatkan kita bahwa perubahan tidak menunggu dentang jam, tetapi dimulai dari keberanian berpikir.[1]
Maka, mari kita renungkan: apa artinya menjadi bangsa yang merdeka jika pikiran kita masih terpenjara? Di tengah arus deras globalisasi, ketergantungan teknologi, dan ketidakadilan sosial, kita perlu kembali bertanya, apakah benar kita sudah berpikir merdeka? Pertanyaan inilah yang harus kita bawa saat menyongsong tahun 2025.[2]
Tentu, kita semua akrab dengan naskah Proklamasi, dua alinea yang ringkas namun sarat makna. Pada alinea pertama, "Kami bangsa Indonesia, menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia," tersimpan keberanian untuk mendefinisikan takdir sendiri. Sedangkan alinea kedua, "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya," mengandung kecermatan, ketaktisan, dan kebijaksanaan yang melampaui zaman.[3]
Proklamasi adalah puncak proses berpikir yang mendalam, bukan sekadar hasil perjuangan fisik. Ia lahir dari "state of minds," bukan sekadar "state of power." Para pendiri bangsa mengandalkan visi dan kebijaksanaan, bukan hanya kekuatan otot.[4]
Pendidikan sebagai Panglima
Bayangkan sebuah bangsa yang pemimpinnya berpikir seperti penggali tambang. Mereka hanya berfokus pada hasil instan—kekuasaan, kebijakan populis, atau pembangunan fisik tanpa jiwa. Di sisi lain, pendidikan sebagai panglima adalah impian tentang bangunan yang lebih permanen: pemikiran kritis, kreativitas, dan keberanian untuk melawan stagnasi. Sayangnya, impian ini sering kali hanya menjadi fatamorgana.[5]
Kemerdekaan berpikir adalah modal utama yang harus ditanamkan sejak dini. Budi Utomo tidak muncul dari kehampaan, Bung Hatta tidak hanya pulang membawa koper dari Belanda, dan Ki Hajar Dewantara tidak sekadar menulis kata-kata penuh semangat. Mereka semua adalah bukti hidup bahwa pendidikan adalah alat revolusi paling ampuh.[6]
Namun, apa yang terjadi hari ini? Kita menciptakan generasi penghafal, bukan pemikir. Kelas-kelas kita dipenuhi murid yang takut salah, guru yang tak mau ditanya, dan sistem yang sibuk mencetak angka-angka tanpa makna. Padahal, pendidikan bukanlah pabrik, melainkan ruang penciptaan.[7]
Kita harus jujur: pendidikan kita terjebak dalam pola transmisi hafalan. Dalam sistem seperti ini, siswa menghafal rumus, nama tokoh, atau peristiwa tanpa pernah diajak bertanya, "Mengapa?" dan "Bagaimana?" Kebebasan berpikir, di mana siswa diajak mempertanyakan dogma dan mencari jawaban baru, masih terasa seperti mimpi yang jauh dari realitas.[8]
Di tengah derasnya gelombang digitalisasi, pendidikan kita juga harus menyesuaikan arah. Tahun 2025 harus menjadi momentum untuk merekonstruksi paradigma pendidikan, dari yang semata-mata pragmatis menjadi pendidikan yang membebaskan.
Jika kemerdekaan berpikir bisa dimulai di ruang-ruang kelas, maka hasilnya akan terasa di ruang-ruang publik. Bayangkan pemimpin yang lahir dari generasi yang diajarkan untuk berpikir, bukan sekadar mematuhi. Bayangkan warga yang terbiasa bertanya dan menolak ketidakadilan, alih-alih hanya menerima keadaan.
Ini bukan soal pendidikan gratis atau mahal, tapi soal pendidikan yang bermakna. Apa gunanya sekolah jika kita hanya menciptakan robot yang pandai menghitung tetapi lupa merasa? Tahun 2025 harus menjadi tonggak awal di mana pendidikan benar-benar menjadi panglima, memimpin kita keluar dari belenggu keterbatasan dan ketergantungan.
Akhirnya, kita harus menghadirkan ruang baru bagi pendidikan: ruang yang memadukan sastra, filsafat, dan budaya lokal dengan teknologi dan ilmu pengetahuan global. Tidak perlu takut melawan arus. Karena, seperti kata seorang pemikir, "Kebebasan adalah hak untuk menjadi salah, agar kita bisa belajar menjadi benar."
Nikmat Berpikir
Tahun berganti, dan kita seperti biasa berdiri di ambang waktu yang penuh dengan refleksi. Di antara riuhnya suara-suara resolusi yang mengisi langit media sosial, kita sering lupa pada satu hal mendasar: bagaimana kita memaknai waktu bukan hanya sebagai angka, tetapi sebagai momen untuk berpikir lebih dalam. Tahun 2024 segera berakhir, dan 2025 membuka pintu, tetapi apakah kita sudah benar-benar siap untuk memasukinya dengan kesadaran.
Berpikir, dalam konteks ini, bukan sekadar aktivitas mental biasa. Ini adalah sebuah proses yang membawa kita lebih dekat pada pemahaman tentang diri kita sendiri, masyarakat, dan alam semesta.
Memasuki tahun baru seharusnya bukan hanya soal menandai pergantian angka di kalender, tapi juga tentang bagaimana kita merayakan proses berpikir sebagai alat untuk merefleksikan apa yang telah kita lakukan, dan yang lebih penting lagi, apa yang akan kita lakukan.
Filosofi sederhana ini mendorong kita untuk melihat bahwa berpikir adalah bentuk kebebasan yang sesungguhnya. Ketika kita bisa berpikir dengan bebas dan kritis, kita tidak hanya mengubah diri kita, tetapi juga memberi dampak kepada orang lain. Inilah yang harus menjadi semangat kita di tahun yang baru: memupuk kebebasan berpikir.
Tahun Baru
Tahun baru, sebuah simbol dari perjalanan waktu yang tak terelakkan. Namun, bukan sekadar hitungan angka yang berubah, tetapi kesempatan untuk kita merefleksikan kembali, mereset, dan merancang masa depan bangsa. Tahun baru seharusnya bukan sekadar seremonial penuh riuh, namun sebuah momentum yang mengingatkan kita untuk membangun tidak hanya fisik, tetapi juga jiwa dan pikiran bangsa.
Bangsa yang benar-benar maju adalah bangsa yang meletakkan inovasi dan kreativitas sebagai prioritas utama. Inovasi bukan hanya soal teknologi canggih atau kemajuan ekonomi, tetapi tentang bagaimana kita berpikir, menyikapi perubahan, dan mampu menggali ide-ide baru yang mungkin bertentangan dengan mainstream. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan besar: apakah sistem pendidikan kita benar-benar memberi ruang untuk berpikir kritis? Apakah kita, sebagai bangsa, cukup menghargai gagasan baru meskipun melawan arus?
Sistem pendidikan kita, meskipun sudah banyak mengalami perubahan, masih banyak menghadapi tantangan dalam membangun kebebasan berpikir. Kita terlalu sering diajari untuk mengikuti alur tanpa memberi ruang pada kebebasan berpendapat, mengkritisi, dan berinovasi.
Pendidikan yang baik tidak hanya mencetak individu yang paham teori, tetapi juga individu yang mampu melihat dunia dari berbagai perspektif dan berpikir kreatif. Namun, apakah itu yang kita terapkan di sekolah-sekolah kita?[9]
Sementara itu, budaya kita terkadang malah membungkam gagasan-gagasan baru yang dianggap tidak sesuai dengan norma yang ada. Kita lebih mudah mengagungkan sesuatu yang sudah mapan, menganggap yang lama lebih baik, dan mengabaikan potensi perubahan yang dapat membawa kita ke arah yang lebih baik. Inilah tantangan yang mesti kita hadapi dalam pergantian tahun ini: untuk berani berinovasi dan menghargai gagasan yang berani melawan arus, bahkan jika itu terasa mengganggu kenyamanan kita.
Tahun baru haruslah menjadi waktu untuk memperbaharui cara berpikir kita. Waktu untuk meruntuhkan tembok-tembok yang menghalangi kebebasan berpikir. Sebuah bangsa yang besar bukanlah bangsa yang hanya mengandalkan pencapaian material, tetapi bangsa yang merdeka dalam pikirannya. Merdeka untuk berpikir kritis, merdeka untuk mengekspresikan ide-ide baru, dan merdeka untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Hanya dengan kebebasan berpikir seperti itulah kita bisa benar-benar melangkah ke depan, maju dan progresif.
Dalam dunia yang terus berkembang pesat ini, kita tak bisa lagi menutup mata terhadap kenyataan bahwa perubahan hanya bisa terjadi melalui pemikiran yang terbuka dan berani. Tahun baru adalah saat yang tepat untuk menanamkan dalam diri kita tekad untuk berpikir berbeda, untuk menghargai gagasan-gagasan baru, dan untuk terus menciptakan ruang bagi kreativitas.
Sebagai bangsa, kita harus sadar bahwa perubahan tidak datang dari stagnasi. Ia datang dari sebuah sikap progresif, yang berani memecahkan batasan-batasan lama. Mari sambut tahun 2025 dengan pemikiran yang lebih luas, lebih inklusif, dan lebih terbuka.
Biarkan tahun baru ini menjadi awal dari perjalanan bangsa menuju masa depan yang penuh inovasi, kebebasan berpikir, dan keberanian untuk merubah hal-hal yang tak lagi relevan. Hanya dengan begitu, kita akan menempuh jalan panjang menuju kemajuan yang sesungguhnya.
Trauma Sejarah
Kolonialisme itu warisan luka yang dalam. Tidak cuma kekayaan alam kita yang dirampas, tapi juga keberanian dan rasa percaya diri kita. Kita terlalu lama mengagungkan budaya luar, hingga lupa bahwa kekayaan lokal kita adalah potensi besar yang sesungguhnya bisa menjadi kekuatan. Dalam memperjuangkan kemerdekaan, kita seolah-olah lupa dengan budaya kita sendiri yang sudah ada sejak dulu. Ini saatnya untuk berpikir merdeka: membuang mentalitas terjajah dan merayakan jati diri kita sebagai bangsa yang bangga dengan apa yang kita miliki.
Berpikir merdeka itu bukan sekadar melestarikan budaya, tapi menggunakan kekayaan budaya kita sebagai alat untuk memperkuat posisi kita di dunia. Sebuah bangsa yang percaya diri akan berani mengangkat budaya lokal, bukan sekadar untuk kenangan, tapi untuk menjadikannya senjata dalam bersaing di dunia global yang terus berkembang.
Bangun Mandiri: Menghentikan Ketergantungan
Kemerdekaan sejati artinya kita bisa berdiri sendiri, tidak bergantung pada bangsa lain. Tapi meskipun sudah merdeka, kita masih bergantung dalam banyak hal—ekonomi, teknologi, bahkan ilmu pengetahuan. Ketergantungan ini ibarat penjajahan baru yang lebih halus, tapi lebih menyesakkan. Kita, seharusnya bisa berdikari, tetapi masih terlalu sering mengandalkan pihak luar untuk kebutuhan dasar kita.
Berpikir merdeka dalam hal ini adalah perjuangan untuk membangun kemandirian. Dalam ekonomi, kita harus mulai memberdayakan sumber daya lokal dan mencintai produk dalam negeri. Dalam politik, kita harus berani membuat keputusan yang berpihak pada rakyat meski ada tekanan dari luar. Kemerdekaan bukan cuma simbol, tapi keberanian memilih jalan yang mungkin lebih sulit, tetapi akan membawa kemajuan jangka panjang.
Tegak Adil: Menegakkan Keadilan Sosial
Ketidakadilan adalah belenggu terbesar bagi kemerdekaan kita. Selama masih ada ketimpangan sosial, selama sebagian rakyat tidak punya akses yang adil terhadap pendidikan, pekerjaan, dan hukum, maka kemerdekaan itu hanya akan jadi mimpi belaka. Ketidakadilan itu menutupi wajah kemerdekaan kita, mengaburkannya dalam ketimpangan yang mengkhawatirkan. Kemiskinan, diskriminasi, dan intoleransi adalah tanda bahwa kemerdekaan kita belum merata, belum menyentuh semua lapisan masyarakat.
Berpikir merdeka berarti menegakkan keadilan. Pemimpin yang merdeka adalah pemimpin yang mengutamakan rakyat, menolak korupsi dan nepotisme, serta menjadi teladan dalam hal integritas dan kejujuran. Keadilan adalah dasar kemerdekaan yang sesungguhnya. Tanpa keadilan sosial, kemerdekaan kita akan tetap terbelenggu oleh ketidakadilan yang tak ada habisnya.
Salah satu tantangan terbesar kita adalah sistem pendidikan yang lebih banyak mencetak pekerja daripada pencipta. Pendidikan kita seringkali lebih mengarahkan anak bangsa untuk mengikuti apa yang ada, bukan untuk berpikir kritis dan kreatif. Ketimpangan antara kota dan desa, kaya dan miskin.[10]
Merdeka Berpikir
Tahun baru adalah sebuah titik tolak, bukan hanya dari pergantian angka, tetapi dari kesempatan untuk merayakan kebebasan berpikir. Kita tidak hanya diminta untuk mengevaluasi resolusi atau cita-cita, tetapi untuk berpikir merdeka—merdeka dari belenggu ketergantungan, ketidakadilan, dan stagnasi yang menghalangi kemajuan bangsa. Sebagai bangsa yang merdeka, kita harus berani mempertanyakan, berpikir kritis, dan merancang masa depan yang lebih baik dengan pendidikan sebagai panglima, menciptakan generasi yang berani melawan ketidakbenaran dan memperjuangkan keadilan.
Kemerdekaan berpikir adalah jantung dari sebuah bangsa yang maju. Seperti halnya Proklamasi kemerdekaan yang bukan hanya tentang fisik, tetapi tentang visi dan kebijaksanaan yang mendalam, kita pun harus mampu membebaskan diri dari keterbatasan yang ada. Kita harus menanggalkan mentalitas terjajah, membangun kemandirian, dan merayakan jati diri kita yang kaya akan budaya dan potensi.
Tahun baru ini, mari kita jadikan momentum untuk membuka ruang bagi inovasi, memperjuangkan keadilan sosial, dan memupuk kebebasan berpikir yang sesungguhnya. Mari melangkah ke tahun 2025 dengan semangat baru—semangat untuk membangun bangsa yang benar-benar merdeka, bukan hanya dalam tubuh dan tanah air, tetapi dalam pikiran, tindakan, dan tujuan.
Berpikir merdeka adalah jalan menuju masa depan yang gemilang, di mana setiap individu tidak hanya menjadi penonton, tetapi aktor perubahan yang membawa bangsa menuju puncak kemajuan sejati. Tahun baru adalah saatnya untuk memulai perjalanan ini.
Tentang penulis: BUNG EKO SUPRIATNO (Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar Banten.)
DAFTAR PUSTAKA
- HMS FT-UH. (nd). PARADIGMA #5 'Berpikir Kritis': Sudahkah Kita Merdeka Dalam Berpikir. Diakses dari https://www.hmsftuh.com/paradigma-5-critical-thinking-sudahkah-kita-merdeka-dalam-berpikir/
- Kompas.com. (2016). Sudahkah Kita Merdeka Berpikir? Diakses dari https://edukasi.kompas.com/read/2016/08/17/08500021/Sudahkah.Kita.Merdeka.Berpikir.?page=all
- Kompas.com. (2022). Peran Mohammad Hatta dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Diakses dari https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/25/140000779/peran-mohammad-hatta-dalam-proklamasi-kemerdekaan-indonesia
- Merdeka Berpikir. (nd). Merdeka Berpikir. Diakses dari https://nasional.sindonews.com/read/146348/18/merdeka-berpikir-1598537286
- Pikirkan Rakyat. (nd). Merdeka Berpikir. Diakses dari https://pikirkanrakyat.com/merdeka-berpikir/
- Rumah Filsafat. (2011). Kemerdekaan Pikiran. Diakses dari https://rumahfilsafat.com/2011/08/15/kemerdekaan-pikiran/
- Setneg.go.id. (nd). Pembukaan Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945. Diakses dari https://www.setneg.go.id/baca/index/membuka_catatan_sejarah_detik_detik_proklamasi_17_agustus_1945
- Tempo.co. (2019). Nadiem Makarim: Merdeka Belajar adalah Kemerdekaan Berpikir. Diakses dari https://www.tempo.co/politik/nadiem-makarim-merdeka-belajar-adalah-kemerdekaan-berpikir-674835
- Wikipedia. (nd). Mohammad Hatta. Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta
[1] HMS FT-UH. (nd). PARADIGMA #5 'Berpikir Kritis': Sudahkah Kita Merdeka Dalam Berpikir . Diakses dari https://www.hmsftuh.com/paradigma-5-critical-thinking-sudahkah-kita-merdeka-dalam-berpikir/
[2] Merdeka Berpikir. (nd). Merdeka Berpikir . Diakses dari https://nasional.sindonews.com/read/146348/18/merdeka-berpikir-1598537286
[3] Setneg.go.id. (nd). Pembukaan Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945 . Diakses dari https://www.setneg.go.id/baca/index/membuka_catatan_sejarah_detik_detik_proklamasi_17_agustus_1945
[4] Kompas.com. (2022). Peran Mohammad Hatta dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia . Diakses dari https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/25/140000779/peran-mohammad-hatta-dalam-proklamasi-kemerdekaan-indonesia
[5] Pikirkan Rakyat. (nd). Merdeka Berpikir . Diakses dari https://pikirkanrakyat.com/merdeka-berpikir/
[6] Wikipedia. (nd). Mohammad Hatta . Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta
[7] Kompas.com. (2022). Peran Mohammad Hatta dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia . Diakses dari https://www.kompas.com/stori/read/2022/01/25/140000779/peran-mohammad-hatta-dalam-proklamasi-kemerdekaan-indonesia
[8] Tempo.co. (2019). Nadiem Makarim: Merdeka Belajar adalah Kemerdekaan Berpikir . Diakses dari https://www.tempo.co/politik/nadiem-makarim-merdeka-belajar-adalah-kemerdekaan-berpikir-674835
[9] Kompas.com. (2016). Sudahkah Kita Merdeka Berpikir? Diakses dari https://edukasi.kompas.com/read/2016/08/17/08500021/Sudahkah.Kita.Merdeka.Berpikir.?page=all
[10] Rumah Filsafat. (2011). Kemerdekaan Pikiran . Diakses dari https://rumahfilsafat.com/2011/08/15/kemerdekaan-pikiran/