Oleh: Endang Yusro
Catatan Akhir Pekan ini diambil (revisi) dari cipta karya mata pena yang menjadi Juara I lomba Karya Ilmiah mahasiswa dan umum yang digelar oleh Departemen Agama Republik Indonesia (Depag RI), sekarang menjadi Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2000, berarti sudah 24 tahun (🤭), dengan judul, Islam dan Demokrasi (Paradigma Strategi Perjuangan Model Gus Dur dan Amin Rais).
Kemudian penulis sunting untuk lebih fokus pada pembahasan kedua tokoh. Pertimbangan berikutnya untuk menghindari kesan panjang untuk sebuah tulisan di medsos (media sosial)
Sebelum pada pemaparan pemikiran sebagaimana pada judul catatan ini, penulis mengemukakan istilah yang sepertinya tidak lazim ditemukan pada bacaan, yakni “teroka”.
“Teroka” dalam KBBI berarti menjajaki, bisa juga bermakna memprediksi, meneropong, atau menerka. Dengan demikian catatan kecil ini merupakan sebuah telaah, teropong, atau prediksi terhadap pemikiran seseorang atau kelompok orang.
Jadi janganlah menyimpulkannya menjadi sebuah kebenaran, karena jika salah itu murni datangnya dari penulis. Jika benar itu mutlak dari Allah Jalla wa Azza Sang Maha Tau.
***
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, yang pertama cenderung menuntut “jatah” terlebih dahulu dalam kekuasaan sebagai cermin representativeness dari sebuah Negara demokratis, dan yang kedua cenderung untuk memperkokoh demokrasi dulu, dan “jatah” kekuasaan itu akan ditentukan oleh mekanisme politik yang lebih sehat, tanpa tergantung pada kekuasaan.
Pola pertama, tampak sekali menjadi mainstream pemikiran para tokoh Islam yang kini berkiprah di ICMI. Hal ini amat tampak dari pernyataan tokoh ini yang menganggap bahwa peran yang dimainkan oleh sejumlah tokoh Islam dalam pemerintahan dan legislatif sekarang sudah sewajarnya.
Peran ini sudah seharusnya dipegang kelompok Islam, karena dilihat dari ukuran merepresentasikan memang sudah menjadi jatahnya. Pola kedua, berkembang pemikiran di kalangan umat Islam yang menempatkan strategi perjuangan umat sebagai bagian dari perjuangan demokrasi.
Menurut tokoh yang menganut pola ini, yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana mengokohkan politik yang demokratis. Karena itu tak pernah mempersoalkan tentang jumlah orang Islam yang duduk dalam pemerintahan maupun lembaga perwakilan.
Kalu kita mau menyebut, maka Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dan Amien Rais lah tokoh yang paling tepat memegang model strategi perjuangan politik di atas.
Dua tokoh tersebut bukan saja berbeda dalam paradigm, meliainkan juga berbeda dalam sosialisasi politik Islam. Karenanya, walaupun secara teori kedua model tersebut bersikap komplementer, namun dalam kenyataannya penggabungan kedua model tersebut tidak pernah terwujud.
Gus Dur secara hipotesis dijadikan model perjuangan Demokrasi Kultural, sementara Amien Rais dipakai sebagai model perjuangan Demokrasi Struktural.
Meskipun dikatakan kombinasi antara kedua model itu tak akan pernah terwujud, namun secara teoritis kita harapkan bahwa pernyataan kedua model tersebut akan saling memperkuat tercapainya tujuan “pemuliaan” Islam Indonesia di masa depan.
Sebagai tolak ukur untuk mengetahui kendala-kendala yang menghambat kedua paradigm tersebut (demokrasi kultural dan struktural).
Kendala Demokrasi Kultural (Barrier of Cultural Democration)
Sebagaimana dijelaskan di atas, tokoh penganut paradigm ini adalah Gus Dur, seorang tokoh Nahdlatul Agama (NU) yang terjun di dunia politik yang bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Menurut Eep Saefullah Fatah, kendala demokrasi kultural adalah sebagai berikut:“`
Pertama, adanya corak budaya dan tingkah laku elite-politik yang sangat mengesankan memonopoli kebenaran. Seperti pada persoalan [enafsiran Pancasila yang masih sangat sepihak.
Sementara di sisi lain lapisan bawah tidak begitu mempermasalahkan sehingga menempatkan persoalan pengetahuan bukan yang utama.
Kedua, kokohnya budaya feudal dalam masyarakat. Kultur feudal cenderung menempatkan interaksi sosial antara manusia secara vertical.
Budaya feudal ini kemudian mengalir juga dalam proses interaksi politik yang menempatkan posisi atas bagi para elite-politik memperoleh penghargaan dan penghormatan secara paternalistik oleh rakyat.
Kultur feudal seperti inilah yang tidak kondusif bagi demokratisasi di Indonesia, yang menjadikan masyarakat dan bangsa ini seolah-olah menjadi tidak memiliki penghargaan, kapan dan dalam hal apa rakyat dapat hidup berdemokrasi.
Kendala Demokrasi Struktural (Barrier of Structural Democration)
Paradigma ini dipegang oleh seorang tokoh dari organisasi Muhammadiyah, yang sekarang memimpin sebuah partai politik, Partai Amanat Nasional (PAN).
Menurut Arbi Sanit, kendala struktural demokrasi merupakan gambaran nyata kepasrahan elite dan warga partai terhadap pelecehan hak harga diri partai sebagai organisasi yang berasal dari dan dibentuk untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingannya di arena politik kooptasi semacam ini sayangnya mendapatkan legitimasi UU Parpol dan Golkar yang menjadikan bahwa partai-partai politik di Indonesia berada di bawah binaan Menteri Dalam Negeri.
Sementara pada sisi lain birokrasi merupakan jalur bagi Golkar yang ikut bertanggung jawab untuk memenangkan pemilu, masing-masing kontestan yang memiliki hak dan kesempatan yang sederajat.
Akibatnya, fraksi parpol yang ada di DPR juga tidak memiliki bargaining position di mata pemerintah. Kendala struktural semacam ini menyebabkan mekanisme control tidak berjalan.
Demikianlah sekilas gambaran tentang kendala-kendala demokrasi di Indonesia yang masing-masing diwakili oleh dua tokoh yang sekarang sedang memegang “control remote” dalam kancah perpolitikan Orde Baru.
Sementara untuk menuju masyarakat dan Negara Indonesia yang demokratis langkah-langkah yang harus ditempuh oleh pemimpin Indonesia menurut Arbi Sanit dari UI adalah:
Pertama, soal pemimpin. Pemimpin harus diganti secara teratur. Pergantian ini soal prinsip, karena dengan adanya pergantian secara teratur, akan terjadi penyegaran.“`
Kedua, pemerintah harus dapat berbuat kuat dan efektif dalam bertindak mengimplementasikan suatu kebijakan, tapi juga mau dikontrol jika melakukan kesalahan.
Karena control masyarakat ini yang akan menentukan ini tidak tepat, ini salah, ini tidak sesuai misalnya. Selain itu pelu juga Mahkamah Agung (MA) diberi kesmpatan untuk melakukan judicial review terhadap produk-produk hokum yang dihasilkan legislative maupun eksekutif.
Hal ini bisa dilakukan untuk menguji apakah UU yang dihasilkan itu sesuai atau tidak. Demikian catatan revisi akhir pekan (18/5/2024).
No responses yet